Pengembangan Pemanfaatan Aset IPB


Dalam rangka memanfaatkan aset IPB dikaitkan dengan upaya peningkatan income generating di IPB, pada tahun 2003, MWA IPB Periode 2002-2007, sebagaimana diketahui bersama, telah menerbitkan 2 (dua) ketetapan yaitu: (1) Ketetapan MWA IPB Nomor 21/MWA-IPB tentang Rencana Induk Pemanfaatan Aset Institut Pertanian Bogor, dan (2) Ketetapan MWA IPB Nomor 23/MWA-IPB tentang Kebijakan Dasar Pelaksanaan Rencana Induk Pemanfaatan Aset Institut Pertanian Bogor. Namun demikian, implementasi dari ketetapan tersebut, khususnya yang berhubungan dengan alokasi pemanfaatan aset IPB perlu terus dikembangkan agar sesuai dengan kepentingan IPB. Terkait dengan hal tersebut diatas, dianggap perlu untuk melakukan review dan penyesuaian-penyesuaian atas Rencana Induk Pemanfaatan Aset agar menjadi sesuatu yang dapat dilaksanakan (workable).

Dalam rangka membahas pengembangan aset IPB, pada tanggal 22 Februari 2008, MWA IPB melaksanakan Sidang Paripurna. Dari Sidang tersebut terungkap beberapa isu yang terkait dengan aset diantaranya:

(1) Cukup banyak aset IPB yang akhirnya menjadi liability, karena IPB belum bisa melakukan penghapusan serta diperlukan waktu dalam melakukan penghapusan, oleh karena itu Peraturan tentang Pengelolaan Aset oleh MWA IPB perlu segera ditetapkan, sehingga bisa segera ditindak lanjuti;

(2) Ketetapan tentang pengelolaan aset yang dibuat selama ini hanya untuk hal-hal yang bersifat fisik saja, sehingga perlu dibuat Grand Design tentang aset. Setelah diperoleh common understanding tentang aset, kemudian melangkah kepada strategi assets empowerment. Dengan adanya Grand Strategy yang disepakati dan disahkan oleh MWA, maka sinergi dapat dicapai dan memperjelas proses pelaksanaannya. Potensi yang digarap sangat besar sekali, namun untuk menjadikan potensi tersebut menjadi realisasi, diperlukan aspek legal (clean and clear). Selain itu, IPB juga harus menjembatani gap antara inovasi yang ada di IPB dengan masyarakat yang membutuhkan. Jika tidak dijembatani maka semuanya akan menjadi tidak ada artinya (meaningless) dan kurang bermanfaat bagi kemajuan Tri Dharma IPB;

(3) IPB harus membuat sistem pengelolaan aset yang bagus, sehingga tidak ada lagi aset yang tidak digunakan secara baik. IPB diharapkan secara aktif, membantu menawarkan intangible assets berupa hasil-hasil penelitian staf yang memiliki nilai komersial, karena nilainya akan lebih tinggi bila yang menawarkan adalah lembaga. Sistem pengelolaan aset, dilihat dari semua sisi (hasil penelitian, teaching farm, dll.) harus dibuat;

(4) Data-data aset yang sudah ada perlu diperbaharui (update) misalnya tentang tanah, bangunan, alat besar, alat angkutan, alat bengkel, dll. yang nilai semuanya berjumlah sekitar Rp. 631 Miliar, namun nilai tanahnya hanya sekitar Rp. 2,7 Miliar. Valuasi aset perlu dilaksanakan oleh eksekutif, khususnya tanah dan diharapkan pada tahun 2008 dapat diselesaikan sehingga nilai tanah dalam neraca awal yang akan dibuat nanti sudah mencerminkan angka yang lebih realistik;

(5) IPB memiliki Doktor (knowledge assets) yang jumlahnya sekitar 627 orang (dosen) dan 3 orang (staf penunjang). Kalau para doktor tersebut diukur kinerjanya dengan menggunakan Balanced Scorecard, maka akan terlihat ketimpangan dalam arti achievement mereka untuk meluluskan Doktor tinggi, tapi achievement untuk mendapatkan income rendah. Knowledege Assets berupa Doktor yang begitu banyak di IPB tersebut, jika tidak dikelola dengan baik, kurang berkembang secara optimal sehingga perlu dicari solusinya;

(6) Pemanfaatan aset perlu segera dilakukan, namun dalam perspective Pimpinan IPB, saat ini perlu dibangun lebih dahulu collective dream tentang Kampus Baranangsiang, Taman Kencana, Cilebende, Jonggol, Pasir Sarongge, dll, agar apa-apa yang sudah dimuat dalam Ketetapan MWA Nomor 23/MWA-IPB/2003 tentang Kebijakan Dasar Pelaksanaan Rencana Induk Pemanfaatan Aset Institut Pertanian Bogor bisa dikaji kembali, dan agar Pimpinan IPB bisa membangun partisipasi dari stakeholders dalam kampus. Tahun 2008 ini targetnya adalah membangun konsep yang mapan tentang rencana pengembangan aset, setelah itu membuat skema pengembangannya, pembiayaannya, dan yang terakhir dengan siapa akan bermitra. Jika tidak dikelola dengan baik maka akan merusak kinerja yang lain;

(7) Saran-saran dari Sidang Paripurna MWA agar ditindak lanjuti dengan action. Pembentukan Pokja dimungkinkan dan kepada Komisi II MWA diharapkan untuk dapat mengawal konsep, mendampingi dan juga menyumbangkan fikiran, supaya apa yang telah dibahas dapat dirumuskan dalam sebuah Ketetapan yang komprehensif. Dengan dibentuknya Pokja, maka proses penyelesaian tugas akan lebih cepat, karena bahan-bahan yang disiapkan untuk diputuskan pada Sidang Paripurna MWA sudah setengah matang. Ketua Komisi II dan Anggota MWA akan membantu Pokja, namun mengusulkan, agar Pokja tersebut berada pada level eksekutif. Pokja diharapkan juga dapat menghasilkan Pedoman Pengelolaan Aset IPB;

(8) Dokumen yang disusun harus sejalan dengan Kebijakan Umum IPB yang telah disahkankan oleh MWA. Karena Ketetapan ini merupakan turunan dari Kebijakan Umum tersebut diatas, maka kewenangan untuk mengeluarkan Rencana Induk Pemanfataan Aset dan Pedoman Pengelolaan Aset adalah pada MWA. Proses perumusan, mekanismenya dilakukan oleh eksekutif, kemudian diajukan kepada MWA dan nantinya akan menjadi dokumen yang akan ditetapkan oleh MWA. Kebijakan tentang pengembangan aset, harus mencakup tangible maupun intangible.

Secara umum hal-hal tersebut tampaknya sudah diakomodasikan dalam dokumen Renstra IPB Tahun 2008-2013, dan diharapkan Komisi MWA IPB terkait melakukan pengawalan pelaksanannya.

 

Comments are closed.